Aliran-Aliran Penemuan Hukum

Oleh : Prima Jayatri, S.H.

Legisme

            Sebagai reaksi terhadap ketidak-pastian dan ketidak-seragaman hukum kebiasaaan timbulah pada abad ke 19 di Eropa usaha untuk penyeragaman hukum dengan jalan kodifikasi dengan menuangkan semua hukum secara lengkap dan sistematis dalam kitab undang-undang. Hukum kebiasaan sebagai sumber hukum mulai ditinggalkan. Di Prancis pada akhir abad ke 18 diadakan kodifikasi yang dicontoh oleh seluruh Eropa. Timbulnya gerakan kodifikasi ini disertai dengan lahirnya aliran Legisme.

            Pandangan dalam abad ke 19 ini ialah bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, yang dianggap cukup jelas dan lengkap, yang berisi semua jawaban terhadap semua persoalan hukum, sehingga hakim hanyalah berkewajiban menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkritnya dengan bantuan metode penafsiran terutama penafsiran gramatikal. Pemecahan masalah hukumnya akan diketemukan melalui subsumptie.  

Aliran ini berpendapat bahwa semua hukum itu berasal dari kehendak penguasa tertinggi, dalam hal ini kehendak pembentuk undang-undang. Jadi semua hukum terdapat dalam undang-undang. Berdasarkan pandangan ini  hakim hanyalah berkewajiban menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkritnya dengan bantuan metode penafsiran terutama penafsiran gramatikal. Aliran ini juga mengabaikan hukum kebiasaan dan yurisprudensi. Hal tersebut dikarenakan pembentuk undang-undang ingin mencegah ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum. Usaha kearah kodifikasi ini hanya dapat dipahami melalui ajaran tentang pembagian kekuasaan yang mendapat pengaruh dari Montesquieu dan harus dilihat dengan latar belakang pandangan negara liberal.

Montesquieu mengemukakan adanya tiga bentuk Negara dan pada setiap bentuk Negara tedapat bentuk penemuan hukum yang cocok untuk masing-masing bentuk Negara. Dalam etat despotique tidak ada undang-undang. Di sini hakim mengadili setiap peristiwa individual menurut apresiasi pribadinya secara arbitrer. Di sini terjadi penemuan hukum otonom mutlak. Di dalam negara idealnya, yaitu etat republican terdapat penemuan hukum yang heteronom: hakim menerapkan undang-undang menurut bunyinya. Sedangkan dalam etat monarchique terdapat sistem undang-undang, baik yang rinci maupun yang tidak rinci, yang tidak dapat diterapkan begitu saja, tetapi harus ditafsirkan lebih dulu dengan mencari “jiwanya”. Kecuali sebagai corong undang-undang hakim di sini juga sebagai penafsir undang-undang. Di sini terdapat sistem penemuan hukum yang mempunyai unsur-unsur heteronom maupun otonom. Tipe-tipe yang digambarkan oleh Montesquieu masing-masing mencerminkan aspek tertentu dari fungsi hakim: hakim tidak lebih berfungsi sebagai corong undang-undang, kadang-kadang hakim mempunyai sedikit banyak kebebasan dalam menterjemahkan dengan menafsirkan, kadang-kadang diserahkan kepadanya keyakinan dan kesadaran hukumnya. Penemuan hukum heteronom terdapat dalam sistem peradilan negara-negara kontinental termasuk Indonesia.

Tidak dapat disangkal bahwa ada hukum kebiasaan di samping undang-undang dan hal tersebut merupakan kenyataan. Berhubung dengan itu untuk mempertahankan teori bahwa undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum, maka dicari jalan keluar bahwa berlakunya hukum kebiasaan itu karena ditunjuk oleh undang-undang. Apabila tidak ada penegasan mengenai penunjukan seperti misalnya pada  pasal 15 AB, maka hukum kebiasaan dianggap berlaku secara diam-diam dan diciptakanlah fiksi bahwa hukum kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat bukan karena kebiasaan, yaitu bahwa perilaku yang diulang mempunyai kekuatan mengikat, tetapi karena kehendak pembentuk undang-undang, baik yang tegas maupun secara diam-diam.

 Mazab Historis

            Berlawanan dengan pandangan Legisme, yaitu bahwa undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum, adalah pandangan Mazab Historis yang dipelopori oleh von Savigny (1779-1861). Mazab Historis berpendapat bahwa hukum itu ditentukan secara historis yakni  hukum tumbuh dari kesadaran hukum bangsa di suatu tempat dan pada waktu tertentu (Das Recht Wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem Volke). Kesadaran hukum (Volksgeist) yang paling murni terdapat dalam kebiasaan. Peraturan hukum terutama merupakan pencerminan keyakinan hukum dan praktek-praktek yang terdapat dalam kehidupan bersama dan tidak ditetapkan dari atas. Para yuris harus mengembangkan dan mensistemasi keyakinan dan praktek-praktek ini . Von Savigny berpendapat bahwa hukum adalah hukum kebiasaan yang tidak cocok untuk kehidupan modern. Sebelum mengkodifikasikan hukum harus mengadakan penelitian yang lebih mendalam terlebih dahulu. Setelah itulah baru dapat dilakukan kodifikasi.  Jasa von Savigny dalam hal ini ialah bahwa ia memberi tempat yang mandiri pada hukum kebiasaan sebagai sumber hukum.

Begriffsjurisprudenz

            Pada pertengahan abad 19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering (1818-1890) yang menekankan pada sistematik hukum. Setiap putusan baru dari hakim harus sesuai dengan sistem hukum. Berdasarkan ketentuan yang dibentuk oleh sistem hukum, maka setiap ketentuan undang-undang harus dijelaskan dalam hubungannya dengan ketentuan undang-undang yang lain, sehingga ketentuan-ketentuan undang-undang itu mrupakan satu kesatuan yang utuh. Menurut aliran ini yang ideal adalah apabila sistem yang ada itu berbentuk suatu suatu piramida dengan pada puncaknya suatu asas utama, dari situ dapat dibuat pengertian-pengertian baru (Begriff).

Khas bagi aliran  Begriffsjurisprudenz ini ialah hukum dilihat sebagai satu sistem tertutup mencakup segala-galanya yang mengatur semua perbuatan sosial. Pendekatan hukum secara ilmiah dengan sarana pengerian-pengertian yang diperhalus ini merupakan dorongan timbulnya postivisme hukum, tetapi juga memberi argumentasi-argumentasi yang berasal dari ilmu hukum, dan dengan demikian obyektif, sebagai dasar putusan-putusan. Pasal-pasal yang tidak sesuai dengan sistem dikembangkan secara “ilmiah” dan diterapkan inttepretasi restriktif. 

 

Interessenjurisprudenz

            Sebagai reaksi terhadap Begriffsjurisprudenz lahirlah pada abad ke 19 di Jerman Interessenjurisprudenz,  suatu aliran yang menitikberatkan pada kepentingan-kepentingan (Interessen) yang difiksikan. Oleh karena itu aliran ini disebut Interessenjurisprudenz.  Interessenjurisprudenz ini mengalami masa jayanya sebagai aliran ilmu hukum pada dasawarsa pertama abad ke 20 di Jerman.

Aliran ini berpendapat bahwa peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai formil-logis belaka, tetapi harus dinilai menurut tujuannya. Menyadari bahwa sistematisasi hukum tidak boleh dibesar-besarkan, maka von Jhering mengarah kepada tujuan yang terdapat di belakang sistem dan merealisasi “idée keadilan dan kesusilaan yang ta’ mengenal waktu”. Aliran ini berpendapat bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk melindungi, memuaskan atau memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup yang nyata. Dalam putusannya hakim harus bertanya kepentingan manakah yang diatur atau dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang. Philip Heck, yang termasuk salah seorang penganut aliran ini, berpendapat bahwa tanpa pengetahuan tentang kepentingan sosial, moral, ekonomi kultural dan kepentingan lainnya, dalam peristiwa tertentu atau yang berhubungan dengan peraturan tertentu, pelaksanaan atau penerapan hukum yang tepat dan berarti, tidak mungkin.

Pembentuk undang-undang sewaktu merumuskan peraturan telah mempertimbangkan pelbagai kepentingan dan akhirnya mengambil pilihan. Dalam ketentuan undang-undang telah ditetapkan kepentingan-kepentingan mana yang  dimata pembentuk undang-undang itu mempunyai nilai. Apabila kemudian diminta putusan dari hakim (dalam konflik kepentingan), maka ia harus menyesuaikan dengan ukuran nilai yang dimuat dalam undang-undang. Ia tidak boleh atas kemauannya sendiri menilai kepentingan konkrit pihak-pihak yang bersangkutan, akan tetapi mengeluarkan unsur-unsur itu yang telah dinilai oleh pembentuk undang-undang dan berkaitan dengan itu mengambil putusan. Yang menentukan terutama adalah selalu penilaian oleh pembentuk undang-undang. Hakim dalam putusannya harus bertanya kepentingan manakah yang diatur atau dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.

Freirechtbewegung

            Reaksi yang tajam terhadap legisme baru muncul sekitar 1900 di Jerman. Reaksi itu dimulai oleh Kantorowicz (1877-1940) yang dengan nama samaran Gnaeus Flavius dalam tahun 1906 menulis “Der Kamph um die Rechtswissenschaft”. Aliran baru ini disebutnya “Freirechtllich” (bebas) dan dari situlah timbul istilah “Freirechtbewegung”.

Pengikut-pengikut aliran ini menentang pendapat bahwa kodifikasi itu lengkap dan bahwa hakim dalam proses penemuan hukum tidak mempunyai sumbangan kreatif. Tidak seluruh hukum terdapat dalam undang-undang. Di samping undang-undang masih terdapat sumber-sumber lain yang dapat digunakan oleh hakim untuk menemukan hukumnya. Mereka menganggap titik tolak Montesquieu bahwa hakim tidak lebih dari corong undang-undang secara tegas merupakan fiksi. Tiap pemikiran yang melihat hakim sebagai subsumptie automaat dianggap sebagai sesuatu yang tidak nyata. Menurut mereka hakim tidak hanya mengabdi pada fungsi kepastian hukum, tetapi mempunyai tugas sendiri dalam merealisasi keadilan. Pengertian-pengertian yang umum, luas dan oleh karena itu kabur atau samar-samar seperti misalnya pengertian “itikad baik”, “ketertiban umum”, “kepentingan umum”, yang digunakan oleh pembentuk undang-undang, dalam peristiwa konkrit tiap kali masih harus diisi atau dilengkapi. Putusan hakim tidak selalu dapat dijabarkan dari undang-undang, karena setiap peristiwa itu sifatnya khusus dan tidak benar kalau hakim selalu dapat menerapkan peraturan undang-undang yang umum sifatnya pada situasi konkrit. Hakim tidak hanya wajib menerapkan atau melaksanakan undang-undang, tetapi juga menghubungkan semua sifat-sifat yang khusus dari sengketa, yang diajukan kepadanya, dalam putusannya.

            Freirechtbewegung mencoba mengarahkan perhatiannya kepada sifat-sifat yang khusus pada peristiwa konkrit dan kepentingan yang berkaitan. Rasa hukum hakim harus dipusatkan pada hal-hal ini dan juga pada tujuan yang tersirat dalam peraturan. Kalau penyelesaian menurut undang-undang, maka hakim wenang dan wajib untuk menyimpang dari penyelesaian menurut undang-undang. Tidak mengakui undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum mengarah pada subyektivasi putusan hakim dengan demikian disadari bahwa putusan hakim mengandung karya yang bersifat menciptakan. Pelakasanaan hukum bergeser kearah penemuan hukum atau pembentukan hukum.

            Hakim memang harus menghormati undang-undang. Tetapi ia dapat tidak hanya sekedar tunduk dan mengikuti undang-undang, melainkan menggunakan undang-undang, sebagai sarana untuk menemukan pemecahan peristiwa konkrit yang dapat diterima. Dapat diterima karena pemecahan yang diketemukan dapat menjadi pedoman bagi peristiwa konkrit serupa lainnya. Di sini hakim tidak berperan sebagai penafsir undang-undang, tetapi sebagai pencipta hukum. Penemuan hukum semacam itu yang tidak secara ketat terikat pada undang-undang disebut penemuan hukum bebas.

Yang dimaksud dengan penemuan hukum bebas bukannya peradilan di luar undang-undang. Dalam penemuan hukum bebas peran undang-undang adalah subordinated. Undang-undang bukanlah merupakan tujuan bagi hakim, tetapi suatu sarana. Bagi hakim yang melaksanakan penemuan hukum bebas tugas utamanya bukanlah menerapkan undang-undang, melainkan menciptakan pemecahan melalui atau dengan bantuan undang-undang untuk peristiwa konkrit sedemikian, sehingga peristiwa-peristiwa serupa kemudian diselesaikan dengan memuaskan. Maka penemuan hukum bebas berarti penemuan hukum menurut kepatutan.

            Penggunaan metode penemuan hukum bebas kebanyakan dapat menuju kepada akibat-akibat yang sama seperti dengan metode-metode penemuan hukum yang lain. Hakim yang melakukan penemuan hukum bebas tidak akan mengatakan: “saya harus memutuskan demikian, sebab bunyi undang-undangnya adalah demikian”. Ia akan mendasari putusannya dengan pelbagai alasan (antara lain yang terpenting adalah undang-undang) karena diakuinya bahwa pilihan argumentasinya (dan metode penafsirannya) menjadi tanggung jawabnya yang tidak dapat diserahkannya kepada pembentuk undang-undang.

            Yang sering dianggap khas dalam penemuan hukum bebas ialah bahwa hakim yang melakukan penemuan hukum,” mengikuti zaman” dan mengganti peraturan hukum lama (usang) dengan yang baru. Akan tetapi perlu dipertanyakan kapankan suatu peraturan itu sudah usang dan peraturan manakah yang harus menggantikannya. Pada asasnya selama belum ada undang-undang baru, hakim tetap akan berpedoman pada undang-undang yang lama.

            Dalam hal ini ada pengecualiannya, yaitu pembentuk undang-undang sudah membentuk undang-undang, tetapi belum mempunyai kekuatan hukum, karena masih dalam pembicaraan di lembaga legislatif. Dalam hal ini hakim dapat berpedoman pada undang-undang baru yang belum mempunyai kekuatan berlaku itu: ini merupakan bentuk terpenting dalam penemuan hukum bebas, yang disebut metode penemuan hukum antisipatif atau futuristis. Dengan metode ini hakim setidak-tidaknya mempunyai pegangan pada pendirian Pemerintah, sehingga memperoleh petunjuk bagaimana pandangan pembentuk undang-undang dan bagaimana hukumnya yang akan datang. Dengan demikian hakim memungkinkan terjadinya peralihan yang luwes dari hukum yang lama ke yang baru (dengan anggapan bahwa rancangan undang-undang itu kemudian menjadi undang-undang).

            Hendaknya disadari bahwa Freirechtbewegung ini tidak hendak memberi fungsi yang bersifat menciptakan hukum yang otonom kepada hakim, tetapi hendak menyadarkan hakim kepada kenyataan bahwa ia dalam aktivitasnya tidak dapat menghindari mengikutsertakan unsur penilaian subyektif. Pendapat subyektif hakim ini tidaklah seindividualistis seperti yang digambarkan oleh lawan Freirechtbewegung: hakim dibesarkan dalam suasana sistem hukum yang diterapkannya, kecuali itu ia mengenal peraturan hukumnya. Oleh karena itu putusannya sebagian besar ditetapkan berdasarkan peraturan hukum tertulis yang berlaku dan asas-asas hukum yang berlaku umum.

            Freirechtbewegung berpendapat bahwa hakim terikat pada batas-batas yang dapat dijabarkan dari sistem: ini menuju pada pemecahan masalah yang mendasarkan pada sistem (gesystematiseerd probleemdenken atau berpikir problemantik tersistemisasi).

 

Penemuan Hukum Modern

Salah satu pokok pandangan modern ini ialah bahwa bukan sistem perundang-undangan yang merupakan titik tolak, tetapi masalah kemasyarakatan yang konkrit yang harus dipecahkan. Undang-undang bukanlah sesuatu yang penuh dengan kebenaran dan jawaban, yang paling tidak membutuhkan beberapa penafsiran untuk dapat dilaksanakan dalam situasi konkrit, tetapi lebih merupakan usulan untuk penyelesaian, suatu pedoman dalam penemuan hukum, dan dalam kaitan itu masih banyak faktor-faktor penting lainnya yang dapat digunakan untuk penyelesaian masalah-masalah hukum.

            Pandangan penemuan hukum modern ini dapat digolongkan ke dalam pandangan “gesystematiseerd probleemdenken” atau “pandangan berpikir problemantik tersistemisasi ” dari Freirechtbewegung. Metode penafsiran undang-undang yang digunakan di sini adalah terutama teleologis. Menurut jalan pikiran ini maka diakui bahwa dalam penemuan hukum unsur penilaian adalah sentral: ingin dicapai sesuatu dengan  hukum dan dengan penyelesaian yang sesuai dengan sistem. Hasilnya tidak dijabarkan secara logis dari peraturan umum yang abstrak tetapi sekaligus selalu merupakan resultante pertimbangan semua kepentingan dan nilai dalam persidangan. Pada asasnya yang menonjol adalah masalah kemasyarakatan.

            Penganut aliran ini (berpikir problemantik tersistemisasi) pada umumnya menekankan bahwa masalah yuridis selalu berhubungan dengan masalah kemasyarakatan dan dari sinilah harus dicari penyelesaian yang paling dapat diterima dalam praktek. Titik tolak ini terutama berarti bahwa kita harus selalu sadar akan kenyataan bahwa penyelesaian yang paling dapat diterima dalam praktek. Dan juga harus selalu sadar akan kenyataan bahwa penyelesaian hukum merupakan salah satu cara untuk mengatur masalah kemasyarakatan. Setiap orang sebelum mulai dengan penemuan hukum harus bertanya apakah suatu penyelesaian hukum dapat menuju kepada hasil akhir yang diharapkan. Untuk dapat memutuskan hal ini seorang yuris harus sekurang-kurangnya mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh model-model atau cara-cara lain untuk menyelesaikan konflik. Selanjutnya harus ditanyakan metode apa yang harus digunakan. Titk tolak dalam memilih metode ialah bahwa sistem itu merupakan pedoman dalam menemukan penyelesaian: yang ditanyakan ialah apa yang dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang dalam konteks kemasyarakatan yang mana. Dengan perkataan lain tujuan pembentuk undang-undang dapat digeser, dikoreksi, tetapi tidak boleh diabaikan.

            Pemecahan masalah dengan mendasarkan pada sistem (gesystematiseerd probleemdenken atau berpikir problemantik tersistemisasi) ini terjadi melalui beberapa tahap. Pertama hakim meneliti masalah yang diajukan kepadanya untuk diterjemahkan secara yuridis: apakah hukum dapat membantu memperoleh pemecahan yang diharapkan? Apabila begitu, maka ditetapkanlah fakta-fakta mana yang dianggapnya relevan dan peraturan yang dapat digunakan. Telah diketengahkan di muka bahwa ada hubungan antara peristiwa dan peraturan: peristiwa menentukan peraturan yang relevan, tetapi peraturannya menentukan sekaligus fakta mana yang penting. Sudah sejak seleksi dan analisis peristiwa dan peraturan penyelesaian akhir yang ada di dalam benak hakim memegang peranan. Apabila bagian pertama penelitian kearah penyelesaian hukum telah dilakukan maka selanjutnya semua nilai dan kepentingan yang berkaitan yang memegang peranan dalam masalah dan sampai pada putusan, dimana kita dapat menyesuaikan maksud pembentuk undang-undang dengan situasi konkrit, dilihat dari keadaan kemasyarakatan yang aktual.

Penemuan hukum modern ini berpendirian bahwa atas satu pertanyaan hukum dapat dipertahankan pelbagai jawaban dalam sistem yang sama. Penemuan hukum harus menimbang-menimbang semua faktor yang mempengaruhi putusan-putusan akhirnya. Ia harus sadar bahwa putusan dalam arti positif dapat merupakan preseden untuk banyak hubungan-hubungan diwaktu mendatang. Fungsi hukum adalah melindungi kepentingan manusia. Dalam penemuan hukum yang problemantik tersistemisasi   kepentingan justiciabele (pencari keadilan) lebih diutamakan.